PERESEAN LOMBOK (3) Habis

 


Sesudah kita tahu arti dari pepadu, mudik pengiring dan alat yang dipakai pada peresean, sekarang saatnya kita lihat uniknya peresean dari penggemar dan pencintanya terutama sekali penyawernya. Istilah saweran itu sendiri berlaku diperesean ketika jeda babak berlangsung dimana para penonton akan ke tengah lapangan untuk melepaskan uangnya sebagai tanda kepuasan atas penampilan para pepadu.


Saweran ini sendiri secara tidak langsung akan menambah gairah dari para pemain, tidak heran orang sering mengatakan semakin banyak saweran semakin banyak pukulan. Saweran sendiri tidak dibatasi nominalnya ada yang 5.000, 10.000 bahkan sampai seratus ribu atau kadang juga sampai jutaan rupiah. Saweran tertinggi yang pernah terkumpul adalah ketika haji rizal atau kamandanu bertemu dengan jero dari bali di narmada waktu itu, konon ceritanya saweran terkumpul sampai ratusan juta. 

Para penyawer ini adalah orang yang memang hobi dan termasuk peduli dengan peresean, karena dari saweran inilah para pepadu yang bertanding bisa mendapatkan tambahan uang lebih dan bahkan lebih besar dari yang disiapkan oleh panitia penyelenggara. Sebut saja gerandong atau bapak jamal pepadu ini rela turun lapangan meskipun sedang dalam kondisi sakit, guna mendapatka  saweran yang akan digunakan untuk membeli pupuk untuk sawahnya. Begitu berartinya saweran ini untuk para pepadu sehingga para penyawer ini mendapatkan tempat tersendiri di hati para pepadu.


Diantara para penyawer yang terkenal itu antara lain dari lombok barat ada pak haji pengusaha emas dan mutiara, di lombok tengah ada mas australia yang konon terkenal karena pernah tinggal di australia dan di lombok timur ada Pak Tanwir salah seorang CEO Rumah Makan Rirana di Sawing. Saking akrabnya tercetuslah sebutan sebutan untuk mereka ada Raja Sawer, Ratu sawer, Pangeran Sawer dan Sultan Sawer.

Terlepas dari itu semua, pepadu ini perlu dibantu dan hanya dengan saweranlah kiranya bantuan nyata itu bisa kita lakukan. Salam satu hobi, salam satu penjalin. Lestari budayaku, jaya pereseanku.

Comments